Tinjauan kembali perspektif keharaman musik dalam islam
ROUBIN ONLINE.COM - KADEMANGAN.
A. Pendahuluan
Setelah sebelumnya dibahas tentang argumentasi keharaman musik, penting pula meninjau sisi lain dari perdebatan ini, yaitu pandangan sebagai ulama yang memperbolehkan dalam batas-batas tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa masalah musik dalam Islam termasuk ke dalam ranah khilafiyah (perbedaan pendapat) yang telah ada sejak masa klasik.
B. Pandangan ulama' yang memperbolehkan musik.
Sejumlah ulama besar dalam sejarah Islam tidak serta Merta mengharamkan musik. Diantara mereka adalah:
1. Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali (w. 505 H.), menurutnya musik itu pada hakikatnya mubah (boleh), tidak ada pengharaman padanya kecuali karena sebab eksternal seperti syair yang mengandung kekufuran atau menyulut syahwat.
2. Syaikh Al-Adfawi (w. 784 H.) dalam konteks ini bahkan beliau lebih obsesif dari Al-Gazali. Dalam pandangannya, musik ditengarai mubah bukan karena hanya oleh mayoritas Syafi'iyah saja. Dalam kitab "Al-imta' bi ahkam as-sama'" ia menulis:
"Tidak ada satu keterangan (nash) pun dari imam abu Hanifah dan imam bin Hambal yang mengharamkan bernyanyi'
3. As syaukani dengan deretan gelar Al muhaddist al-salafiy al-imam as-syaikh Muhammad bin 'ali as-syaukaniy az-Zaydiy, menuntun kita untuk tidak cuek bebek dari apa yang ia katakan, lebih-lebih mengenai musik. Dalam kitabnya disamping membuktikan bahwa penghakiman atas musik adalah pembahasan serius, juga menjadi penegasan betapa pentingnya mengutip qaul-qaul beliau.
C. Dasar hukum
رَأَيْتُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَرْنِي بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَرَجَرَهُمْ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ النّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَنَّا يَا بَنِي أَرْفَدَةَ يَعْنِي مِنَ الْأَمْنِ. وَمِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الْحَرْثِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ نَحْوَهُ وَفِيهِ: تَغَنِّيَانِ وَتَضْرِبَانِ // وَفِي حَدِيْثِ أَبِي طَاهِرٍ عَنْ ابْنِ وَهَبٍ وَاللهُ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حِجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِي مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْتُرُني بِتَوْبِهِ أَوْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرَ إِلَى لَعْبِهِمْ ثُمَّ يَقُوْمُ مِنْ أَجْلِي حَتَّى أَكُوْنَ أَنَا الَّذِي أَنْصَرِفُ (متفق عليه)
"Rasulallah Saw menutupiku dengan selendangnya, saat saya melihat kaum habasyah yang sedang bermain-main di dalam masjid. Kemudian Umar Ra. Datang melarang mereka. Lantas nabi Saw. Bersabda "teruskan wahai Bani arfadah". Umarbin harts dari Ibnu Syihab meriwayatkan hadis serupa, dan didalamnya terdapat tambahan kalimat "ada dua budak wanita yang bermain bernyanyi dan memainkan rebana". Sementara didalam hadist yang diriwayatkan oleh abi Thahir dari Ibnu Wahab, 'Aisyah Ra berkata, "demi Allah saya melihat rasulallah Saw. Berdiri dipintu kamarku saat kaum habasyah sedang memainkan tombaknya di dalam masjid Rasulullah Saw. Beliau menutupiku dengan bajunya (dalam riwayat lain selendangnya) agar aku bisa melihat permainan mereka. Lalu beliau berdiri di sisiku hingga aku selesai melihatnya" (Muttafaqun alaih).
Imam Al-Ghazali menyatakan, hadist diatas dapat ditemukan di dalam kitab shahih Bukhari dan shahih muslim. Sehingga, menurutnya, semuanya termasuk nash. Nash sharih yang membuktikan bahwa bernyanyi, juga bermain musik tidaklah haram dilakukan.
Di dalam keterangan selanjutnya, Al-Ghazali menyusun beberapa petunjuk kemurahan syariat yang ditemukan di dalam hadist di atas:
1. Orang-orang habasyah terbiasa menari dan bermain.
2. Permainan itu dilakukan dimasjid
3. Perkataan nabi Saw. Berupa, "biarkanlah wahai Bani arfadah!" Selain dipahami sebagai "perintah pembiaran", ia juga memiliki arti "perintah untuk bermain"
4. Perintah nabi Saw. Kepada abu bakar dan Umar untuk tidak memberhentikan budak-budak yang bernyanyi. Alasan yang ditemukan adalah "saat itu adalah hari raya, yakni hari raya sebagai sebab-sebab bahagia."
Syarat musik diperbolehkan
Ulama' yang memperbolehkan musik tetap memberikan syarat dan batasan:
- Tidak mengandung lirik mengajak kepada kemaksiatan.
- Tidak disertai dengan perbuatan membuka aurat atau pergaulan bebas.
- musik tersebut membawa manfaat seperti menenangkan hati atau sebagai media dakwah.
Musik dalam konteks sehari-hari
Dalam praktiknya, banyak bentuk musik yang digunakan untuk dakwah dan pendidikan. Bahkan, musik digunakan untuk terapi psikologis dalam dunia medis
Penutup
Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum musik seharusnya tidak menimbulkan perpecahan. Kita diajak berselancar untuk mengetahui Istidlal (pengambilan hukum) ulama dalam menyikapi musik. Belum banyak yang tahu: Gus muhib mengeluarkan fatwa haram terkait sound horeg. Loh kok bisa, bukannya musik itu halal? Landasan apa yang digunakan gus muhib dalam memfatwakan? Wah gimana nih? Loh gak bahaya ta?
Apa yang telah kita perbincangkan baru permulaan dari kajian yang luas. Dalam artikel berikutnya, kita akan menyelami lebih dalam bagaimana landasan Gus muhib terhadap hukum sound horeg dan hiburan, termasuk bagaimana mereka menyusun istidlal-nya secara ilmiah.
Sebagai santri, kita diajak untuk tidak sekadar ikut-ikutan, tapi memahami dengan adab, dan menimbang setiap pendapat dengan ilmu.
Nantikan kelanjutan pembahasannya—semoga menjadi tambahan ilmu dan bekal dalam menjaga akhlak serta sikap tawassuth di tengah perbedaan.
Posting Komentar untuk "Tinjauan kembali perspektif keharaman musik dalam islam"