Lanjutan I Cerpen "Titik Temu"
3 Tahun Kemudian
Malam pamit pada langit yang masih belum membiru. Fajar pun
datang menyapa dengan syahdu. Sayup-sayup panggilan kemenangan sahut-sahutan
dari berbagai penjuru. Tak terkecuali dari masjid megah Al Haromain yang di
kelilingi oleh deretan asrama santri. Suara adzan yang merdu menelusup sampai
ke kalbu. Tibanya subuh membasuh daun-daun dan hati orang-orang yang senantiasa
bersyukur. Sholatpun dilaksanakan, mengharap rahmat dan bentuk pujian, hingga
rontoklah segala karat di hati dan pikiran.
Tak biasanya, seusai sholat KH Ali Murtadzo tak langsung
menekan bell ngaji. Entah kenapa perasaan beliau mulai merasa gundah memikirkan
anak semata wayangnya yang
belum
bersedia menikah. Iya, Deehan Athaya Altezza, Gus Atha. Padahal, usia sudah 26
tahun, sudah bergelar master beberapa bulan lalu dari Stanford University, Palo
Alto, California, Amerika Serikat. Namun, tak ada yang membuncah di benaknya
untuk segera menikah, menjalankan sunnah, lebih-lebih memberikan cucu terhadap
kedua orang tuanya. Setidaknya begitulah yang dipikirkan oleh Kyai Profesor
karismatik ini.
Beliau duduk di taman belakang dhalem. Terdengr
hiruk-pikuk santri berdendang membaca berbagai nadhom sebagai pembuka
dan pengisi waktu sembari menunggu para Masyaikh dan Asatidz datang. Kyai Ali
memanggil ibu nyai yang kemudian menghampiri beliau.
“Umi, Gimana respon Atha terkait
Puteri Ke-3 Kyai Syafaat?” Tanya Kyai ke Bu nyai
“Sama
seperti yang sudah-sudah bi, jawabannya tetap, Belum dulu, nunggu waktu.” Jawab
Ibunyai Tazkia lembut sambil menatap Kyai Ali yang terlihat menarik nafas
dalam, bukan frustasi tapi lebih ke kurang mengerti alasan ketidakbersediaan
Gus Atha dalam menikah.
“Baik
mi, untungnya saya selalu mengatakan pada rekan dan kawan abah bahwa semua keputusan
ada di tangan Mas Atha, yaudah mi abah ngaji dulu.”
“Baik
bi, ummi juga siap-saip ngaji dan menyiapkan beberapa berkas kantor yang perlu
ummi
delegasikan ke Dek Azhar terkait dengan ekspor udang ke Inggris.” Tutup bunyai
Tazkia
seraya pamit ke Kyai Ali.
Kedua orang tua Gus Atha memang selalu membebaskan pilihan
terhahap apapun terkait masa depannya, begitupun dengan pernikahan. Mereka
meyakini bahwa nikah adalah ibadah terpanjang yang akan dijalani seumur hidup,
oleh karena itu harus sesuai hati Nurani. Namun, semua keputusan yang diambil
harus mengedepannya syariah dan dalil.
Sementara itu, Gus Atha yang sibuk sebagai dosen muda di
salah satu Universitas Negeri favorit di Surabaya masih memendam keinginan yang
mendalam untuk segera menikah dan menuruti keinginan kedua orang tuanya. Namun,
hatinya masih belum bisa berdamai, dia masih menanti sesosok perempuan yang
membuatnya pertama kali merasakan getaran Cinta.
Kehidupan akademisi bukan satu-satunya kesibukan Gus Atha,
beliau juga duduk sebagai komisaris di beberapa unit perusahaan milik kakek
dari umminya, mulai dari ekspor-impor kerajinan sampai kontraktor besar di
beberapa wilayah tapal kuda Jawa Timur. Tentunya juga sebagai Putera Mahkota
Sebuah Pesantren Besar yang memiliki 7.000 an santri. Hal ini yang membuat
banyak sekali yang tertarik padanya, mulai dari kolega bisnis,
anak
pejabat, putri kyai, dan beberapa teman-temannya semasa kuliah di Indonesia dan
di California. Apalagi struktur wajah dan tubuh Gus Atha yang bak Christopher
Catesby Harington dalam versi lebih tinggi dan kurus membuat mata yang
memandang akan keluar tanpa sadar lafadz “Masyallah” dari bibir mereka.
Pastinya, Gus Atha tetaplah Gus Atha, pemuda bijak, lemah lembut yang
berprinsip kuat. Keputusannya adalah jalan hidupnya, tak kan tergoyah meskipun
dia merasa sendiri dalam pilihan yang dia buat.
***
4,5
Tahun Kemudian
Hari ini, genap empat setengah tahun sejak perpisahanku
dengan Aleta. Ku membiarkan kisah itu berjalan sesuai arus waktu. Selama itu juga
tidak ada kabar darinya. Pun aku tak ada keinginan mencarinya. Bukan menyerah
pada takdir, tapi aku biarkan takdir yang kelak akan memeluknya dengan mesra.
Aku selalu sematkan namanya di dalam kalam-kalam cintaku. Hanya namanya yang
selalu aku pinta dalam aminku. Aku mengulur waktu hingga 5 tahun berlalu, dan
tinggal 6 bulan lagi batas aku menunggu. Selebihnya, semoga Tuhan membuka
hatiku untuk nama-nama lain yang diridhoi-Nya.
Ting!
Aku mengalihkan pandanganku pada benda pipih disampingku.
Ada notifikasi dari umi. Seketika memecahkan lamunanku tentang teman hidup.
Kuraih HP ku dan Umi langsung menelponku.
“Assalamualaikum mi.”
“Wa alaikum salam mas, Mas Atha jadi
ke Probolinggo kapan?” Tanya umi
“ Nanti sore mi, ba’da sholat
ashar, insyallah 1 jam lewat tol mi. Ada apa mi? Umi
mau
titip pesanan?”
” Gak mas, Umi Cuma mau konfirmasi lagi ke mas Atha takut
lupa, ummi 3 hari lagi berangkat ke London ada urusan bisnis terkait ekspor
perikanan yang kemarin umi bicarakan. Jadinya Umi sama Paklik Azhar, insyallah
selama 6 hari disana bukan 8 hari. Mas Atha mau nitip apa nanti ditulis saja di
Whatsapp ya?”
“ Baik mi, mas nanti tulis beberapa
buku yang mas titip beli di Daunt Books 83
Marylebone
High St, London W1U.”
“Baik
profesor, nitipnya sejak kecil gak pernah yang lain, buku terus. Oh iya
kebetulan
umi nanti nginep di Chiltren Firehouse dan ketemuan dengan rekan bisnis di The
Ivy Chelsea Garden, masih satu area berdekatan dengan toko yang mas maksud. Ah
tapi sayang menjelaskan panjang lebar, kamu paling alergi untuk diajak ke
inggris semenjak kuliah.” Jawaban umi membuatku kembali terbayang tentang
Aleta, karenanya aku tak bisa ke inggris karena pasti akan ada niatan di hati
ini untuk mencarinya. Aku menghindari skenario Tuhan seperti itu yang cenderung
dipaksakan.
“Hehehehe... Nanti pada saatnya Mas akan sering ke inggris
mi, Insyallah.” Timpalku sambil bercanda ke umi.
“Baik mas, sampai ketemu di rumah. Assalamualaikum.”
“Wa alaikum salam wa rohmatullah wa
barokatuh mi.” Jawabku mengakhiri.
******
Bunga musim semi bermekaran indah merekah, menghiasi
sudut-sudut kota yang tenang ini, menghadirkan kedamaian setelah salju yang
dinginnya mencekam. Kau yang jauh diujung belahan bumi sana. Kau tetap menjadi
musim semi yang menghiasi tiap sudut di hatiku. Musim semi dengan mataharinya
yang masih malu-malu menatap bumi, begitupun tatapanmu padaku. Namun, saat ini
musim dinginku terlalu panjang. Dan aku menantinya penuh rasa gusar. Aura
hadirmu selalu aku baitkan dalam lirih doaku. Namun, tak ada tanda musim semi
itu akan menghampiriku. Hadir kembali di hidupmu dan menjadi warna yang selama
ini ku dambakan selalu. Kamu, wahai Dehaan Athaya Altezza, tak adakah desiran
cinta yang berbisik di hatimu untuk mencariku. Aku disini menunggu mu kini
hingga nanti, atau Tuhan akan melukis musim semi lain untukku yang menurut-Nya
lebih elok dan asri. Ah... hatiku masih saja tertaut dan tak bisa beranjak sama
sekali.
“ Hi Miss Aleta. What are you
daydreaming about?”
“Hi Nona Aleta, Apa yang sedang kamu lamunkan?” Sapa Mr.
Jullian mengagetkan lamunanku. Mr. Jullian adalah imigran asal Sudan yang
ditampung oleh kakek nenekku, dia juga menjadi orang kepercayaan keluarga
besarku untuk urusan perdagangan di area Asia Selatan dan Timur Tengah.
Sedangkan ayahku Arthur Gaffrey Cartwright dulunya mengurusi area Asia Pasifik,
dan ketika kunjungan ke Indonesia beliau bertemu mama ku, Sisintya
Remaswati
gadis Surabaya yang memikat hatinya ketika liburan ke Bali. Namun, sejak
meninggalnya nenekku, kakek meminta ayah kembali ke inggris agar bisa mengurusi
perusahaan secara global.
“ Nothing uncle, i have just thought
about the contrcat with new clients.”
“Tidak ada paman, saya baru saja hanya memikirkan tentang kontrak
dengan klien-klien baru.” Terangku agar tidak terlalu panjang menjelaskan hal
lain yang aku renungkan, selain memang tentang klien baru yang akan
menandatangani kontrak dengan perusahaan keluarga besarku.
“Oke, these are some document that you must ceck. Next Week,
i must go back to Bangladesh. I hope you enjoying your new job.”
“Baiklah,
ini ada beberapa dokumen yang harus kamu periksa, minggu depan saya kembali ke
Bangladesh. Saya harap kamu bisa menikmati kerjaan barumu ini.” Mr. Jullian lalu
menyodorkan beberapa dokumen di atas mejaku.
“Thank you
for your increadible guiding to me uncle, i will miss you so much.”
“Terima kasih atas arahanmu yang luar kepadaku paman, saya
akan sangat merindukanmu.” Ucapku kepada Mr. Jullian yang selama ini
membimbingku agar bisa menangani area bisnis yang lebih luas lagi.
Sebelumnya, aku hanya bagian penanganan stok retail di
Inggris Raya, namun karena adanya pemindahan pimpinan dari Asia Pasifik ke
Afrika, aku ditunjuk oleh ayah agar bisa menanganinya. Aku awalnya menolak,
alasannya aku tidak bisa berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat. Namun,
orang tuaku membujukku terutama ibu, karena sudah hampir 5 tahun ini aku tidak
pernah berkunjung ke Indonesia dengan alasan yang masih menjadi misteri bagi mereka.
Padahal, mereka hampir setiap setengah tahun bolak-balik Inggris-Indonesia.
Setelah pertimbangan matang akhirnya aku terima tawaran
menjadi kepala regional Asia Pasifik, meskipun ada penolakan kecil dari batin
ini. Karena setelah perpisahan itu, aku mulai suka irama yang didentumkan Tuhan
melalui petikan kecapi takdirnya, tanpa harus aku paksakan dengan nada-nada
yang ku inginkan. Aku takut iramanya nanti sumbang, takut terjadi Disonansi
Harmonik yang membuat alunan melodius takdir-Nya terasa janggal.
Begitulah
bentuk kepasrahanku akan pertemuan dengan lelaki yang kini membuat aku tahu
akan nikmat mengenal-Nya.
****
Surabaya hari ini sedikit mendung. Mendung yang tak ingin
menitikkan sedikitpun hujan. Yang ia inginkan hanya menebar kesejukan pada
udara Surabaya yang selama ini menjemukan. Meskipun tanah sangat merindukan
rintik hujan. Dia yang selama ini kering kerontang karena kemarau yang
menyiksanya hampir 3 bulan.
Siang itu, Mazerati Ghibli S Grandsulo AWD berjalan mulus
melalui tol Probolinggo-Surabaya di tengah gelap mendung. Di dalamnya
bersenandung suara lembut Hamzah Namira dengan lagu Fady Shewaya-nya yang diikuti
suara khas Gus Atha dengan pelafalan yang hampir sama dengan penyanyi aslinya.
Dalam perjalanan mengantarkan Bunyai Tazkia dan Pak Azhar ke Bandara, tiba-tiba
hati Gus Atha membisikkan kata yang tak pernah dia duga.
“Umi, Mas sudah pasrah.” Ungkapnya
“Pasrah
terkait apa Mas?” Tanya Bunyai Tazkia sambil menatap Gus Atha yang terlihat
serius. Pak Azhar pun terlihat langsung menghentikan aktivitas di gawainya dan
menatap kedua orang di mobil depan.
“Jika umi hendak menjodohkan mas dengan wanita yang menurut
umi baik, mas akan manut.” Ucapnya membuat Bunyai dan Pak Azhar langsung
sumeringah mendengarnya.
“Alhamdulillah le. Akhirnya ibumu bisa punya menantu juga.
Keluarga besar pasti senang mendengarnya, terutama abahmu yang selama ini
sering sekali memikirkan hal ini.” Pak Azhar langsung merespon pernyataan Gus
Atha sebelum Bunyai Tazkia sempat berbicara.
“Akhirnya dek ya, si anak kutu bukuku membuka hatinya.
Ketika lahiran Jelita 2 tahun lalu, umi menangis dalam hati meminta kepada
Allah agar kau diluluhkan hatinya untuk segera siap berumah tangga. Pak likmu
sudah punya 3 cucu. Sedangkan umi masih belum juga punya mantu. Hehehehe...
akhirnya Alhamdulillah.” Sambung Bunyai Tazkia bahagia.
Perjalanan pun berlanjut. Mobil keluaran Itali tahun 2019
ini melaju kencang. Bunyai Tazkia sibuk menelepon Kyai Ali dan beberapa
keluarga besarnya bahwa Atha sudah siap berumah tangga. Mereka sangat bahagia
mendengar kabar tersebut. Perasaan haru ini membuat air mata bahagia Bunyai tak
terasa keluar. Gus Atha melirik dan hatinya sedikit lega. Dia sudah membuat
bahagia wanita yang paling dicintainya. Senyum Bunyai Tazkia adalah nikmat
besar baginya, namun kali ini senyumannya beda, ini bukan hanya nikmat namun
syurga yang sesungguhnya. Namun, di sudut hatinya yang lain, ia merasakan pilu
karena takdir yang tak kunjung mendekatkannya pada titik temu, iya titik temu
antara dia dan Aleta.
“Aleta, Aku kenang kau dalam bisuku, dalam ketidakmampuanku,
dalam ketidakberdayaanku. Masih ada hati lain yang harus aku jaga, ada perasaan
yang harus aku bahagiakan. Semoga dengan kebahagiaan Umi Abi, aku dan kamu juga
akan bahagia. Sedihnya, sekali ku temukan cinta, namun kisah kita tak bisa tercipta.
Mungkin kita hanya sebuah kebetulan, yang tidak direncanakan Tuhan untuk
dipersatukan.” Lirih Gus Atha dalam batinnya. Kemudian dia kembali melihat ke
Bunyai, ada tekad dihatinya untuk selalu melihat senyum itu terus tersungging
di wajah beliau yang lembut .
Akhirnya mereka tiba di Bandara Juanda. Kebahagiaan masih terpancar di wajah Bunyai dan Pak Azhar, begitu pun Gus Atha yang sudah memantapkan hatinya untuk segera menikah. Mereka saling berpamitan. Bunyai memeluk dan mencium kening Gus Atha dan tak terasa Gus Atha menitikkan air mata. Air mata bahagia bercampur derita. Baginya, Mungkin mengikhlaskan adalah satu-satunya cara, bila memang takdirnya tak akan menyatukan dia dan Aleta. Kisah cintanya mungkin hanya sebagai pembelajaran. Dan diapun sepakat dengan hatinya bahwa titik tertinggi mencintai, bukan untuk saling memiliki, namun saling memperbaiki diri.
Posting Komentar untuk "Lanjutan I Cerpen "Titik Temu""