Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SABAR


Kategori : Cerpen 


Sabar

Oleh : Sholeh (kelas 2 madin & kelas 3 SMA Sunan Giri)



Hidupku memang telah di atur oleh takdir sang kuasa. Aku tak pernah mengenal siapa ayah, tak pernah bertemu denganya, dan bahkan aku tak pernah merasakan kasih sayang darinya. Inilah aku yang hanya hidup bersama seorang ibu disebuah rumah kecil sederhana. Hidup bersa,a seorang ibu tak pernah membuatku berhenti untuk membencinya. Dia selalu sibuk dengan pekerjan dirinya sebagai seorang buruh pabrik di kota. Ibu membiarkannku hidup seperti seorang yatim piatu. Tuhan, andaikan saja ayah masih ada bersama kita, mungkin ibu tidak akan membiarkanku hidup tanpa kasih sayang. Oh tuhan, mengapa ini semua terjadi padaku. Entah aku tak tau harus menyalahkan siapa,  semua sudah takdir.
Pagi itu aku terbangun karna suara tetesan air di atap rumah, kuputuskan beranjak dan bangun menuju dapur untuk mengobati dahaga, dengar samar aku tidak sengaja mendengar suara laki-laki dari ruang tamu. Tak salah lagi itu adalah suara kakek, ada apa sebenarnya? Mengapa ia datang pagi-pagi? Aku berjalan mendekati ibu dan kakek dengan bersembunyi di belakang tembok pemisah ruang tamu dan keluarga.
“Sudahlah pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaaanku sehingga tak bisa merawat Sinta dengan baik. Alangkah baiknya jika aku serahkan Sinta ke pesantren.” Tutur ibu. Apakah ini yang dimaksud kasih sayang ibu? Apakah ini alasan semua orang tua menyerahkan anaknya ke pesantren?. Mereka tak bisa merawat serta mendidik anaknya dengan baik sehingga pesantren menjadi tempat pelarian semata. Merasa tak terima dengan keputusan ibu, kuhampiri ibu dan kakek. “Apa bu?, ibu ingin menyerahkan Sinta ke pesantren? Terima kasaih, keputusan ibu telah cukup menyakiti Sinta. Apakah ibu tidak bisa merawat Sinta sedikit saja? Sinta tak butuh kasih sayang yang berlebihan dari kecil sampai detik ini, ibu tak pernah memperhatikan Sinta, tak pernah memeluk saat Sinta sedih dan bakan tak pernah bercerita tentang ayah. Itulah alasan mengapa Sinta terlalu membenci ibu. Jujur Sinta ingin seperti teman-teman yang lain dan merasakan pelukan hangat ibu. Namun, ibu ingin melepas Sinta begitu saja jika memang Sinta tak dibutuhkan lagi sinta akan pergi menuruti kemauan ibu.”
“Diamlah nak! kau tak mengerti apa-apa, hentikan ocehanmu itu!”. Ku kembali ke kemar dan mengurung diri. Tetes demi tetes mengalir membasahi pipiku. Untuk apa aku hidup jika memang aku tidak dibutuhkan? Aku terlalu sakit hati, hingga kebencianku semakin bertambah. Aku menyerah
25 April 2017
Tibalah saatnya aku pergi menimba ilmu dan menuruti keinginan ibu. Meskipun berat rasanya kutetap pergi agar ibu puas. Namun, ku tak bersamanya saat ini aku hanya pergi bersama kakek, kami hanya mengendarai motor tua untuk sampai ke pesantren, belum lagi ditambah barang-barangku, jarak 85 km kami tempuh. 3 jam berselang, sesampainya disana, banyak kutemui para santri berwajah lugu dan polos yang seumuran denganku. Kulihat sisi kananku, ada seorang santriwati yang menangis dan tak ingin di tinggalkan. Namun, ia kembali tenang saat ayah dan ibunya memeluk anak itu. Mataku berkaca-kaca, kakek menatap mataku dalam-dalam, ia mengerti betapa hancurnya hati kecilku. Ia memeluk dan mencium keningku. “Tuhan, seandainya ibu ikut mengantarkanku, mungkin aku akan leih tenang”. “Sinta, jangan menangis! Air matamu terlalu berarti untuk kau buang. Doakan ibumu agar dia cepat berubah”. Kakek mencoba menenangkanku. “Iya kakek, Sinta akan mendoakan ibu, agar ibu cepat berubah. Sinta juga akan meminta kepada Allah agar cepat dipertemukan dengan ayah. Salamkan Sinta merindukan kasih sayangnya.” Kakek melepaskan pelukannya lalu memandang mataku yang berlumuran air mata, ia menyemangatiku hari itu.
26 Juli 2017
Tiga bulan aku hidup dipesantren. Ternyata, tinggal disebuah pesantren tak pernah membuatku bosan. Namun satu hal yang membuatku sedih, yaitu ibu tak pernah mengunjungiku ibu hanya menitipkan uang pada kakek dan tanteku. Aku sangat merindukan ibu. Terlalu merindukannya jam menunjukkan pukul 23.30. malam semakin larut aku berbaring sejenak di lantai yang hanya beralas selimut tipis untuk menahan dinginnya lantai. Tak lama, kulihat ibuku berdiri di pintu kamar dan memanggilku. Akupun langsung berdiri dan memeluknya “Maafkan ibu nak! Ibu telah gagal menjadi ibu yang baik untukmu, sekarang hari ulang tahunmu. Ibu akan menemanimu sampai besok pagi, aku menangis ibuku telah berubah.” Bel tahajjud membangunkanku, Tuhan ternyata ini semua hanyalah mimpi aku berdiri dengan hati yang berdetak kencang. Bayanganku tergambar wajah ibu, entahlah mungkin ini semua karena hari ulang tahunku. Aku bergegas mengambil air wudlu dan sholat tahajjud di dinginnya malam, dan berdoa keselamatan untuk ibuku.
Panasnya terik matahari membuat keringatku menetes, aku berdiri di gerbang pondok menunggu kedatangan ibu siang itu, di ujung jalan selalu ku perhatikan, tapi tak ada tanda-tanda kedatangan ibu. Sudahlah dari pada aku berdiri disini lebih baik aku kembali ke pondok belajar karena besok aku ujian. Sehari sesudah ujianku selesai, aku melihat pamanku di gerbang pondok, dia tersenyum kecil disana, aku heran tak biasanya pamanku mengunjungiku selama aku mondok dan ia kuga tidak mengetahui keberadaanku disini selama ini. Aku hampiri dia, paman memandang mataku dalam-dalam, matanya seperti merah seakan sesuatu telah terjadi,aku tak mengerti,dan paman pun tak berkata apa-apa.
“Apapun yang terjadi kau harus tetap tegar nak, Allah bersamamu dan selalu mendengar doa-doamu. Berdoalah agar kau dapat yang terbaik”. Ucap paman mengawali perkataan dengan lembut. Paman mengajakku ijin kepada pengurus untuk pulang dari pondok. Setelah mengurusi beberapa surat ijin, kami pun pergi meninggalkan pondok pesantren. Hatiku terasa pecah saat paman berhenti di pemakaman yang tak jauh dari rumahku. Aku mengikuti langkah besarnya, dari kejauhan aku melihat nenek dan tanteku yang sedang menunggu kedatangan kami, mataku mulai berkaca-kaca, perasaanku hancur berbaur menjadi satu. Nenek langsung menghampiriku dan memelukku , aku benar-benar hancur, aku tak sanggup lagi berdiri saat mataku dengan samar melihat batu nisan yang bertuliskan nama ibuku.
“Apa yang terjadi sehingga ibu bisa begini nek...? nenek jawab pertanyaan Sinta, kenapa bisa begini...? nenek jawab...???”. “Maaf nak, kami tidak memberi tahumu tentang hal ini. Kemarin pagi, ibumu mengajak nenek kepasar, ia ingin membelikan mukenah sebagai kado ulang tahunmu. Percayalah nak, ibumu telah berubah, ia sadar bahwa ia telah menyia-nyiakanmu, ia juga rela berhenti kerja dan memilih menjadi ibu runah tangga demi kamu. Ibumu sangat ingin mengunjungimu saat hari ulang tahunmu. Namun, takdir berkata lain, ibumu tertabrak mobil saat hendak mengambil kado mukenah buat kamu yang jatuh di tengah jalan. Sebelum ia pergi, ia sampai dibawa ke rumah sakit dan ibumu melarang nenek untuk mengabarimu karena ia tahu kamu masih dalam tahap ujian semester, ibumu hanya menitipkan kado mukenah ulang tahunmu kepada nenek. Sungguh ibumu sangat menyayangimu. Janganlah sampai kamu membencinya nak”.
Ya Tuhan.... mengapa saat ibu telah berubah, kau ambil nyawanya...?. Kini ayah dan ibu mungkin telah bersama dikehidupan yang tak bisa dinalar dengan teori ruang dan waktu. Bu, Sinta mengerti mengapa Allah menakdirkan kita untuk berpisah. Maaf bu.. Sinta belum bisa membahagiakan ibu. Ibu telah mengajari Sinta untuk tegar meski cara itu berbeda. Lihat Sinta bu, Sinta berjanji akan menjadi anak yang baik. Sinta akan berbakti pada kakek dan nenek jangan khawatir, Sinta akan merawat kakek dan nenek sebagai pengganti ibu, sinta sayang ibu.
Nenek kembali memelukku, nenek terharu melihat Sinta yang tetap tegar tanpa kasih sayang ayah ibu. Selama ini Sinta yakin ini bukanlah akhir melainkan awal untuk terus melangkah lebih dekat dengan yang Maha Kuasa. Percayalah, Allah memberi ujian yang begitu pahit namun dibalik itu semua pasti ada kejutan indah yang begitu manis kebelakang hari. Ingatlah Allah selalu ada bersama kita kapan pu dimana pun kita berada.